Notification

×

Iklan

Iklan

Harga Bawang Putih Terus Naik, Apa Sebabnya?

12/03/2019 | 22.44 WIB | Dibaca: 0 kali Last Updated 2019-09-10T04:54:28Z
    Bagikan

Surabayapos.com - Harga bawang putih kembali melambung, tidak tanggung-tanggung kali ini Rp40 hingga Rp45 ribu per kilogram. Bahkan, sejumlah pedagang menyebut, harga itu akan terus meroket. Kok bisa begitu, kenapa ini terjadi?.



Penelusuran di Pasar Wonokromo Surabaya harga bawang putih melesat dari hari sebelumnya, saat ini untuk jenis Cutting dijual dengan harga Rp40 ribu/kilogram, jenis Sinco Rp25-27 ribu/kilogram, untuk yang kupas Rp28 ribu per kilogram. Pedagang pun mengaku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya mengikuti harga pasar.

"Kita jualnya juga menyesuaikan harga kulakan, jadi untungnya juga tipis," kata salah seorang pedagang, Suhardi, Selasa (12/3/2019).

Tak hanya pedagang, masyarakat pun tak kuasa menolak kenaikan harga bawang putih yang terus melonjak. Menyiasati itu yang dilakukan hanya membatasi pembelian, menghemat uang belanja dengan membeli sebagian kebutuhan dengan irit.

"La iyo, opo'o kate pemilu kok rego bawang putih tambah koyok ngene, mundak terus, onok opo iki. Sopo ngene iki seng tanggung jawab? (La iya, kenapa mau pemilu kok harga bawang putih seperti ini, naik terus, ada apa. Siapa ini yang harus tanggungjawab)," kata Anik, saat berbelanja di Pasar Wonokromo.

Di Pasar Induk Mangga Dua di Jalan Jagir Surabaya juga sama, harga bawang putih juga naik. Pedagang mengaku tidak bisa bisa berbuat apa-apa, kecuali mengikuti harga pasar. Keuntungan yang di dapat juga tidak banyak. Serupa juga terjadi di Pasar Keputran dan Pasar Pabean. Kenaikan harga itu semakin memberatkan masyarakat.
 
"Untuk jenis Cutting kita kulakannya (ambil dari pengepul) Rp38 ribu, kita jual Rp40 ribu, itu pun masih rugi. Untuk harga jual eceran Rp42 sampai Rp45 ribu," kata Ismail pedagang Pasar Mangga Dua.

Lanjut lelaki itu, dampaknya konsumen mengurangi belanjaan. Biasanya yang beli hingga 5 kilogram, kini hanya dua kilogram. Sebagian memilih membeli yang kupasan, Rp28 ribu/kilogram.

"Banyak yang milih beli eceran, jenis kupas Rp28 ribu per kilonya," terang pedagang tersebut, sambil mengatakan keuntungan yang didapat pun tidak banyak.

Dia mengaku heran, kenapa harga bawang putih terus naik. Bahkan, esok hari akan naik lagi. Meski mengatakan tidak sepenuhnya memahami soal lonjakan harga, dia mengaku dari cerita yang didengar, kenaikan harga bawang putih karena pemerintah menghentikan impor.

"Aku sih gak ero pastine Mas, kabare impor bawang putih distop pemerintah. Nurut aku, pemerintah gak oleh ngono, nek pancen gak onok stok, impor kudu dibuka. Nek ngene carane wong cilik 
sing rugi Mas." (Saya sih tidak tahu pasti, kabarnya karena impor bawang dihentikan oleh pemerintah. Menurut saya, pemerintah tidak boleh begitu, kalau memang tidak ada stok, impor harus dilakukan, Kalau seperti ini orang kecil yang rugi)," katanya.

Kemudian, Sulastri ibu rumah tangga yang sehari-hari berjualan kebutuhan dapur di pasar Dukuh Menanggal dekat rumahnya mengaku juga kebingungan dengan terus naiknya harga bawang putih. Sebagai pedagang eceran, dia mengaku tidak bisa mendapat untung. Yang didapat dari jual eceran pun habis untuk biaya transpor.

"Repot Mas, gak iso njokok untung. Pemasukan sitik iku yo entek gae transpor, gae tuku bensin ae wes entek," (Repot mas, tidak bisa mengambil untung. Pemasukan sedikit habis untuk transport, buat beli bensin sudah habis)," terang perempuan yang kulakan dengan suaminya itu.



Untuk jenis Cutting dia beli seharga Rp40 ribu/kilogram, jenis Sinco Rp27-29 ribu. Dan, pedagang langganannya juga memberi tahu kalau harga akan terus naik.

"Mene Mas, regone wes mundak maneh. Yok opo pemerintah iki (Besok Mas, harganya sudah naik lagi. Bagaimana pemerintah ini," katanya dengan nada melas. 
 
Tak salah yang disampaikan pedagang dan juga para konsumen. Faktanya, dengan terus melambungnya harga bawang putih membuat mereka pusing tujuh keliling dan harus memutar otak untuk mencukupi belanjaan.

Jika stok tidak cukup, sementara pemerintah memaksakan kehendak menghentikan impor, itu adalah tindakan tidak pro wong cilik. Ujungnya, masyarakat kecil terus menjadi korban. Sudah menjadi pakem rumus ekonomi, ketersediaan barang dan harga menjadi kunci stabil atau tidaknya harga komoditas. Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan dan terus terjadi, untuk menjamin terciptanya keharmonisan.

RIPH Picu Kenaikan Harga

Ramai diberitakan, kebijakan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) Kementerian Pertanian menjadi dampak naiknya harga bawang putih di beberapa wilayah di Indonesia.

Mengutip pernyataan Dewan Pertimbangan Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (Almisbat) Syaiful Bahari, ada sejumlah hal yang perlu dipahami. Menurutnya, jalan keluar terkait kenaikan harga bawang putih, Kementerian Pertanian harus mengambil sikap terhadap gugatan Amerika Serikat dan New Zealand di WTO.

Dikatakan, kebijakan wajib tanam RIPH Kementerian Pertanian, menjadi memantik terjadinya lonjakan harga. Imbas kenaikan harga bawang putih tidak hanya ke penjual tetapi juga menyengsarakan masyarakat kecil.

Menanam tidak menjadi jalan keluar. Selain tidak tersedia bibit unggul, biaya pupuk dan obat juga mahal, belum lagi ongkos kerja dan iklim di Indonesia yang tidak memungkinkan untuk menghasilkan bawang putih seperti dari luar negeri.

Sementara, gugatan terkait pasal yang tertera di Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 24 Tahun 2018 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2018 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan Permentan Nomor 23 Tahun 2018, dan Permendag Nomor 65 tentang hewan dan produk hewan, yang didalamnya mengenai wajib tanam bawang putih, tidak bisa diabaikan. Dampaknya, merugikan pengusaha dan kelompok tani yang sudah melakukan wajib tanam.

“Dana yang sudah digulirkan untuk wajib tanam jumlahnya tidak sedikit. Jika RIPH tidak dikeluarkan, yang rugi pengusaha dan kelompok tani,” tegasnya.

Jika pemerintah tidak cepat mengambil langkah tepat soal kebijakan RIPH, kelangkaan dan kenaikan harga bawang putih akan terus merangkak naik dan meluas ke berbagai daerah di Indonesia.

Menurutnya, sangat tidak tepat jika pengusaha yang salahkan atau dituduh sebagai mafia pangan. Itu terjadi karena dampak regulasi yang justru membuat harga bawang putih semakin naik.

Jika pemerintah menyerahkan persoalan kenaikan harga bawang putih kepada Bulog dengan melakukan operasi pasar, sama halnya menciptakan ketidakadilan.

“Karena pihak swasta untuk dapat RIPH dan SPI diharuskan wajib tanam. Sementara, BUMN tidak wajib tanam. Ingat, BUMN itu bukan segala-galanya untuk menjalankan ekonomi negara. Swasta juga harus diperlakukan adil agar ekonomi Indonesia maju," tegasnya.

Untuk diketahui, Kemendag menanggapi rencana sanksi dagang senilai USD 350 juta atau sekitar Rp 5,05 triliun (jika asumsi kurs Rp 14.433 per dolar AS) yang digugat Amerika Serikat dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kepada Indonesia.

Gugatan muncul karena Indonesia dianggap mengabaikan keputusan sidang banding WTO, November 2017 silam. Sebelumnya, dikabarkan Amerika Serikat menyiapkan sanksi dagang senilai USD 350 juta atau setara Rp 5,04 triliun kepada Indonesia. Itu dilakukan, setelah AS menang gugatan di WTO, atas pembatasan impor produk-produk pertanian dan peternakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia.

Pada 9 November 2017 lalu, Pengadilan Banding WTO memutuskan tindakan Indonesia atas kebijakan pembatasan impor hortikultura, produk hewan dan turunannya tidak konsisten dengan aturan GATT 1994 (The General Agreement on Tarrifs and Trade 1994). Pembatasan impor Indonesia itu bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) GATT terkait penghapusan pembatasan jumlah impor (General Elimination on Quatitative Restriction).mnt/dji