Surabayapos || Surabaya — Sebuah ironi terjadi di tengah upaya penyelesaian persoalan pencurian kabel Telkom yang menyeret nama beberapa pihak.
Pasalnya, Alih-alih menjadi kontrol sosial profesi jurnalis dijadikan tameng sebagai alat pemerasan.
Bagaimana tidak, saat pertemuan kelompok oknum wartawan S dan PW di lokasi terjadi perbincangan santai yang berujung permintaan sebuah nominal agar kegiatan vandalisme ini tidak di muat di pemberitaan.
Bahkan setelah beberapa lama berbincang, S mengatakan bahwa ia tidak mau jika uang senilai Rp 500.000 (Lima Ratus Ribu) dengan bukti rekaman voice not.
Hal ini diucapkan S secara tiba-tiba kepada HWN, “Sampaikan ke PW, saya tidak mau uang 500 ribu.” Pernyataan itu mengejutkan, karena sebelumnya tidak ada pembicaraan formal mengenai permintaan uang.
HWN kemudian kembali mengonfirmasi hal tersebut ke PW. Demi menghindari masalah yang berlarut-larut, PW akhirnya meminta HWN memberikan uang sebesar Rp2.000.000 kepada S sekitar pukul 04.30 WIB, dengan catatan S dan IA tidak lagi mempermasalahkan pekerjaan di Jombang.
Dirasa kurang, pada pukul 06.30 WIB. S mendadak menghubungi HWN dan menyatakan ingin mengembalikan uang tersebut. Nada komunikasinya disebut bernada mengancam, bahkan melontarkan kalimat," saya kembalikan uangmu. Minta rekeningnya? Saya bukan wartawan bodrex, yang bisa di 86.”
Pernyataan tersebut menambah ironi, sebab jika IA dan S merasa berada di posisi benar dan “tegak lurus”, mengapa nominal uang justru muncul saat berada di lokasi kejadian.
Dalam insiden ini, sikap IA dan S terlihat penuh kontradiksi: di satu sisi ingin tampil seolah bersih dan tegas, namun di sisi lain justru terlibat dalam transaksi uang yang mereka sebut sendiri.
Bahkan setelah pemberitaan naik, HWN sempat berkomunikasi dengan Telpon teman IA yang saat itu ada IA di sebelahnya bahwa agar berita ini bisa take down, PW agar memintakan anggaran tambahan 3 juta total 5 juta dari uang yang sudah masuk 2 juta ke rekening S.
Tindakan tersebut tidak hanya mencoreng nama baik profesi media, tetapi juga menunjukkan praktik haram yang seringkali terjadi di lapangan: oknum memeras oknum, memanfaatkan keadaan demi keuntungan pribadi.
Kasus ini memperlihatkan ironi sekaligus rusaknya etika sebagian oknum media. Alih-alih menjadi kontrol sosial, mereka justru saling memeras dan memanfaatkan situasi yang sedang terjadi.
Pada akhirnya, semua pihak yang terlibat sama-sama salah, dan publik kembali menjadi korban dari praktik tidak profesional para oknum.(bersambung)


