Notification

×

Iklan

Presiden RI 2024 ? Mana Pilihanmu

Iklan

Presiden RI 2024 ? Mana Pilihanmu

Diare atau Pneumonia Penyebab Kematian Tertinggi, Pemerintah Harus Tambah Anggaran Pencegahan

28/08/2019 | 17.58 WIB | Dibaca: 0 kali Last Updated 2019-09-10T04:57:20Z
    Bagikan

Surabayapos.com - Tingginya penderita Pneumonia di Indonesia menjadi bahasan di diskusi yang digelar oleh Jurnalis Sahabat Anak yang mengangkat tema "Menebar Aksi Melawan Pneumonia" di Hotel Kampi di Surabaya, Rabu (28/8/2019).




Tercatat, Indonesia masuk 10 besar angka tertinggi kematian bayi, atau sama dengan tiga bayi meninggal dunia setiap jamnya. Indonesia juga tercatat tertinggi untuk penderita Pneumonia, tepatnya di angka 54. Pneumonia menjadi ancaman serius di Jawa Timur, penyakit yang sering menyerang balita ini menempati peringkat kedua penyebab kematian setelah diare.

Hadir di acara itu sebagai nara sumber, Dr. Muhammad Attoillah Isfandiari, dr, M.Kes adalah pakar Epidomologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair Surabaya. Kemudian, juga hadir Kepala Dinas Kesehatan Jatim dr Kohar Hari Santoso.

Dr Kohar menuturkan, serangan Pneumonia paling banyak dialami balita dengan rentang usia dibawah lima tahun. Banyak faktor yang mempengaruhi, pola hidup bersih dan kebersihan lingkungan. 

"Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Lingkungan dan kesadaran masyarakat dalam memahami upaya preventif, itu harus bisa ditingkatkan," kata Dr Kohar.

Sepanjang tahun 2018 Pneumonia di Jatim mencapai 92.913 itu terjangkit pada anak di bawah usia lima tahun. Sementara penderita di atas lima tahun ada 32.910 orang.

Sepanjang 2018, data di Dinas Kesehatan Jatim tercatat penderita Pneumonia tertinggi ada di bulan Maret, sebanyak 9.116 orang. Februari ada sebanyak 8.392 orang, Januari sebanyak 8.195 orang pasien. 




Dr. Muhammad Attoillah Isfandiari, dr, M.Kes, mengatakan, upaya preventif harus bisa dilakukan untuk menekan jumlah serangan Pneumonia.

"Salah satu cara yang bisa dilakukan semua pihak adalah dengan menyadari dan memahami pentingnya imunisasi," kata Dr Attoillah.

Dengan upaya Preventif yang maksimal, maka biaya yang dikeluarkan untuk menjaga kesehatan jauh lebih murah. Sebaliknya, untuk penanganan akan memakan biaya tinggi.

Cara sederhana untuk mengantisipasi adalah membiasakan hidup, menjaga kebersihan lingkungan termasuk meminimalisir tingginya polusi.

Sementara, Kepala Perwakilan UNICEF Pulau Jawa, Tubagus Arie Rukmantara mengatakan, pemerintah harus lebih banyak mengalokasikan anggaran untuk pencegahan penyakit menular, seperti Pneumonia.

"Dibandingkan dengan kalau sudah sakit dan harus berobat, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien akan jauh lebih besar. Maka dari itu tindakan pencegahan sangat tepat," terang Tubagus Arie.

Namun, semua pihak mengetahui jika alokasi anggaran untuk preventif masih kalah porsinya dibanding upaya pengobatan. Baik untuk membeli obat menggunakan asuransi swasta, maupun yang dijamin program BPJS.

Senada, Dr. dr. Dominicus Husada SpA.K. yang juga Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jatim, sepakat juga menyoroti masih minimnya dukungan pemerintah dalam upaya pencegahan penyakit menular.

"Kalah dibanding dengan membayar BPJS untuk mengobati yang sudah sakit. Karena pencegahan itu hasilnya tidak terlihat. Padahal untuk investasi di masa depan, nilai anak-anak yang kebal dari serangan penyakit menular ini jauh lebih menguntungkan dibanding dengan anggaran yang dikeluarkan untuk BPJS," ujar Dr. Dominicus. 

Dia menambahkan, meski begitu pemerintah tengah berupaya menambah satu jenis imunisasi untuk penyakit menular di Indonesia itu.

"Saat ini belum diputuskan, apakah memasukkan imunisasi untuk Diare atau Pneumonia. Keduanya adalah penyebab kematian tertinggi anak di Indonesia. Ini masih alot dan tarik ulur," terang Dr. Dominicus.(tji)